NASIONALISME DAN SENGKETA

Saturday, October 5, 20130 comments

   
Oleh Farid Gaban

Sengketa (pulau/perbatasan) adalah klaim dan kontra-klaim. Kita mengklaim memiliki wilayah tertentu dan negara lain mengklaim memilikinya pula.

Ketika orang mengatakan suatu pulau pernah kita miliki, itu sebenarnya klaim sepihak kita atas pulau tersebut. Negara lain, termasuk Malaysia, juga punya klaim.

Indonesia dan Malaysia itu negeri baru (dalam konteks sejarah, 60 tahun itu pendek). Dan dua-duanya adalah negeri bekas jajahan. Jajahan Belanda dan Inggris. Tidak hanya sekarang, dulu Belanda dan Inggris juga banyak bersengketa tentang wilayah jajahan.

Ketika merdeka, Indonesia mengklaim memiliki wilayah yang dulu dimiliki VOC/Belanda, berdasarkan peta yang dibuat Belanda, yang batasnya sendiri tidak jelas-jelas amat. Dari situlah potensi sengketa muncul sampai sekarang, meneruskan sengketa Belanda vs Inggris.

Kita tak hanya bersengketa dengan Malaysia, tapi dengan Vietnam, Australia, Filipina, Singapura, Palau, Papua Nugini, dan kini Timor Leste.

Klaim Indonesia terhadap pulau-pulau terluar baru diakui secara internasional pada 1970-an, berkat perjuangan Djuanda (dikenal sebagai Deklarasi Djuanda 1957). Tapi, itu pengakuan secara konseptual/prinsip. Batas (serta kepemilikan pulau) rinci di lapangan masih tetap menjadi sumber perbedaan. Dan, sayangnya, kita sendiri tidak memiliki data/klaim yang akurat.

Dulu, dalam pelajaran geografi, kita selalu diajari bahwa Indonesia adalah negeri yang memiliki 17.000 pulau. Itu ternyata hanya perkiraan. Baru setelah ada Departemen Kelautan (berkat Presiden Abdurrahman Wahid), kita menghitung lagi secara rinci. Belum lama ini, jumlah pulau yang didaftarkan Indonesia ke PBB hanya 13.000 pulau.

Kemana hilangnya 4.000 pulau? Bukan pulau-pulau itu hilang, atau dicaplok negeri lain. Itu soal akurasi data/klaim.

Negeri lain, seperti Malaysia, memiliki administrasi, data dan klaim lebih baik. Itu sebabnya mereka punya potensi memenangkan sengketa di mahkamah internasional.

Tentu saja ada jalan lain untuk memenangkan klaim atas suatu wilayah: perang, mengerahkan kekuatan militer.

Dalam estimasi sederhana, secara militer, Malaysia mungkin akan kalah melawan kekuatan Indonesia. Tapi, tetap belum tentu. Peristiwa tsunami di Aceh secara mencolok memperlihatkan betapa militer kita (baik kapabilitas maupun peralatan) kalah jauh dari Malaysia, Singapura dan Filipina, ketika menghadapi situasi darurat/genting. Perang bisa diibaratkan bencana.

Apalagi sudah jelas kita cenderung cuma memperkuat otot militer di darat (dengan membeli ratusan tank belum lama ini), bukan laut dan udara. Padahal, Indonesia adalah negeri laut.

Lebih dari itu, tentara kita terlalu lama diajari menindas rakyatnya sendiri, sangat sensitif dengan ancaman "separatisme" (doktrin NKRI yang sempit) seperti di Aceh, Timor Leste atau Papua. Tentara kita lembek ketika mengawal perbatasan dari ancaman luar. Sebagian karena korupnya.

Sengketa wilayah/lahan yang kita warisi dari Belanda tidak hanya terjadi di perbatasan. Dan tidak hanya Indonesia versus negara lain. Sebentar setelah merdeka, Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda/VOC termasuk asetnya yang berupa tanah dan bangunan. Presiden Soekarno memberi hak kepada militer untuk mengelola aset-aset itu.

Jangan heran jika hampir semua kantor Korem/Kodim sekarang menempati bangunan kuno zaman Belanda. Militer juga menguasai sebagian lahan-lahan perkebunan ex-Belanda. Dan dalam banyak kasus, tanah-tanah Belanda itu dulu diambil paksa dari masyarakat,  yang memunculkan sengketa sampai sekarang. Kini bukan VOC vs masyarakat, tapi militer vs rakyat.

Kasus Alas Tlogo di Jawa Timur, yang dipersengketakan antara Marinir dan petani, hanya puncak gunung es dari kasus-kasus serupa. Dalam kasus ini, marinir memakai senjata (milik rakyat) untuk menembaki rakyatnya sendiri.

Militer juga menguasai lahan/bangunan di pusat-pusat kota lama, yang dibangun pada masa kolonial, dan harganya mahal. Oleh segelintir jenderal, beberapa aset itu telah dijual kepada swasta. Benteng Vastenburg di Solo adalah salah satu contohnya. Jokowi, Walikota Solo, tak bisa mengelola benteng itu sebagai kawasan wisata kota tua. Kalau mau, pemerintahnya harus membeli benteng itu dengan harga mahal, dari swasta!

Wewenang yang diberikan oleh Bung Karno telah demikian jauh disalahgunakan. Militer tak hanya bersengketa dengan rakyatnya sendiri, tapi juga melakukan praktek-jual beli aset yang sebenarnya bukan milik mereka. Nasionalisme memang masih sering dibicarakan, tapi sebenarnya sudah lama dilupakan esensinya. Yang tersisa hanya slogan kosong.

Membicarakan nasionalisme atau kedaulatan negeri hanya dari aspek batas fisik saja tidak lagi memadai. Negeri lain, apakah itu Amerika atau Malaysia, kini dengan mudah bisa menguasai Indonesia (sumberdaya, manusianya) tanpa harus mengklaim sejengkal wilayahpun. Karena korupnya pejabat-pejabat kita.

Atas nama globalisasi, kita mengundang mereka sebagai investor, memberi mereka izin mengeksploitasi lingkungan dan sumberdaya kita, dan cenderung hanya menjadikan kita sekadar buruh atau sekadar pasar. Kita bahkan mengundang mereka ikut merumuskan legislasi di DPR, melakukan reformasi hukum di Mahkamah Agung.

Sengketa pulau-pulau tidak hanya terjadi di perbatasan. Belakangan mengemuka sengketa antara investor swasta dengan rakyat. Beberapa pulau di kawasan dalam Indonesia dikelola oleh swasta (nasional maupun asing) atau lembaga konservasi asing. Hak pengelolaan itu sudah tak ada bedanya dengan penguasaan. Di beberapa pulau, nelayan tak diperbolehkan masuk atau mendekati perairannya. Dan konflik sering terjadi. Salah satunya di Pulau Komodo yang sekarang sedang populer dibicarakan.

Neokolonialisme tidak mengenal batas fisik. Sementara kita masih saja ribut dengan yang fisik, itupun tidak substansial.***
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Ruang Semu Ku - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Fera Zandra
Proudly powered by Blogger