Nemu artikel menarik mengenai kerukunan umat beragama, eh taunya sang penulis adalah pemberi materi saat diklat jurnalistik semasa kuliah dulu.
Tragedi
Oleh Juwendra Asdiansyah
Jerusalem, 9 September 2003.
“Adakah tragedi yang lebih getir dari ini semua?” Shubert Spero tecenung. Air matanya belum lagi surut. Dalam duduk shiva
ia menatap jauh. Tak pernah usai pikirnya, “Bagaimana mungkin seseorang
yang selalu bergegas ke TKP dan menangani para korbannya bisa ikut
menjadi korban?”
Selasa malam itu,
memang bukan milik anak tiri Shubert, David Applebaum, dan putri David,
Naava Applebaum, juga lima manusia lainnya. Malam ketika seorang pemuda
22 tahun, ledakkan dirinya dengan sebuah bom, hanya beberapa meter dari
tempat David dan Naava berdiri di Kafe Hillel. David adalah dokter yang
selama bertahun-tahun, selalu paling gegas ke lokasi ledakan bom,
berusaha selamatkan nyawa para korban. Nyawa, yang manakala gerbang barzah kembali
dibuka, sesungguhnya tak pernah kuasa diselamatkan oleh tangan siapa
pun. Juga oleh tangan-tangan cekatan David, oleh pengalamannya nan
berbilang tahun.
Ya, waktu penjemputan telah sampai. Bom bunuh diri itu, berikan bentuk kepada peristiwa ajal untuk David, Naava, dan lima manusia lainnya. El maut, tak pernah punya kata tunda dalam sibuknya. Kematian itu niscaya, pada kala yang sudah tiba. Namun, kadang sering ada tanya diucap, terlontar begitu saja: kenapa harus tragedi yang membungkusnya? Bukankah setiap orang berhak inginkan lagu kematian paling syahdu sekalipun?
Dan, tragedi selalu sisakan lebih satu kisah. Seperti kisah Yitzhak putra David tentang penyeranta sang ayah. Benda yang dia dan anggota keluarga lainnya selalu dengar bunyinya tiap kali kabar ledakan bom tiba di telinga. Tapi, “Kali ini penyeranta itu tidak berbunyi, (alat itu) meledak bersama Abba,” kata Yitzhak. Ah, adakah tragedi yang lebih getir dari ini semua?
Gaun pengantin putih mutiara, masih menggantung berbungkus plastik di lantai atas rumah. Naava nan cantik tak akan pernah mengenakannya. Esoknya, Rabu itu, harusnya menjadi hari paling bahagia baginya: menikah. Ah, Naava, tiba-tiba saya jadi bayangkan calon suamimu. Adakah tragedi lebih pilu dari ini semua dalam sejarah hidupnya? Ditinggal mati calon istri, kekasih buaian hati, beberapa jam saja jelang ikrar setia di altar suci! Pesta di bawah siraman cahaya bulan pun lenyap tersaput angin...
***
Maka, rutuk dan
serapah adalah tajuk pada kisah berikutnya. Saya belum katakan: bahwa
pemuda peledak bom, adalah pemuda dari sebuah bangsa nun di Jazirah Arab
sana. Bangsa bernama Palestina. Sedangkan, David, Naava, dan korban
lainnya, adalah manusia dengan takdir menjadi Yahudi. Bangsa yang dulu
tertindas, tersingkir, terusir, lalu pergi, lalu ‘menemukan’ sebuah
tanah, lalu mengklaimnya sebagai entitasnya, bangsanya, negaranya, dan
menamainya: Israel.
Bagi bangsa Israel, menyebut manusia-manusia Palestina sebagai “orang-orang Palestina” sudah jauh sangat layak. Bagi mereka, Palestina bukan bangsa. Bukan negara. Bahkan, jika perlu takkan disebut “orang-orang di Palestina”. Mereka tiada pernah rela ada kata “di” di depan “Palestina”. Karena, “di” bermakna pengakuan. Pengikhlasan yang sama sekali tiada ikhlas, atas sebuah entitas, atas bangsa, atas negara! Palestina, bagi mereka cukup menjadi nama salah satu “jenis manusia” saja. Tanpa bangsa, tanpa negara. Dan, jika perlu (jenis itu) dihabisi. Dilenyapkan dari ruang peradaban.
Bagi Israel, David Applebaum adalah pahlawan.. Monumen terorisme para ‘penjahat’ Palestina. Kamus mereka menyebut si pemuda sebagai teroris, sebagaimana puluhan, ratusan, ribuan orang Palestina yang juga pernah menulis skenario, sutradara, sekaligus pemain dari apa yang mereka sebut terorisme itu. Dan karenanya, menjadi halal bagi mereka untuk ‘balas’ membunuh orang-orang Palestina. Lalu bersepakatlah kabinet Ariel Sharon untuk melenyapkan, bahkan bersiasat membunuh Yasser Arafat nan mulia—manusia, yang puluhan tahun hidupnya diserahkan bagi perjuangan, kemerdekaan, dan kemaslahatan bangsa Palestina yang terus tertindas. “Membunuhnya (Arafat) secara pasti merupakan salah satu pilihan!” kata Ehud Olmert, seorang kaki tangan utama Sharon di kabinet, tanpa beban.
Dunia ini memang etalase para pelupa. Demikian Sharon yang tentu lupa pada peristiwa dua tahun sebelumnya, ketika tangan zionisnya berdarah-darah, bunuhi puluhan muslim Palestina di sebuah masjid! Entahlah, apakah orang-orang seperti Sharon, Olmert, atau Shamir, Rabin, Netanyahu, para Yahudi itu lebih pantas disebut “pelupa” atau “pendendam”. Lupakah mereka ketika pada awal abad lalu terusir dari tanah Jerman dan Polandia oleh Nazi, oleh Hitler yang kejam? Dendamkah mereka ketika jutaan Yahudi dibantai, dikuliti, lalu dijadikan sabun di Kamp Auswizth di Austria yang dingin. Entahlah. Lupa dan dendam, sesungguhnya kata yang harusnya sama sekali tak sama. Namun, kenapa mereka kadang menjadi mirip. Serupa. Apa karena keduanya selalu bersama? Ini lah pula yang terjadi pada si jelata yang menjadi kaya, bos legislatif, bos eksekutif, tokoh papan atas, atas segalanya (maaf kepada Iwan Fals), yang ganti menindas si jelata lainnya. Itu, kaum yang menjadi identitasnya sejak lama. Lupakah? Atau dendamkah?
Dan sayangnya, kenapa bagi Israel, manifestasi kelupaan, atau kedendaman yang mesti berbalas itu, tak mengenal istilah impas. Kenapa untuk dapat nol bukan tujuh dikurang tujuh? Tapi tujuh dikurang sepuluh. Lima puluh. Seratus kalau perlu! Tujuh ‘orang biasa’ Israel, mesti dibayar oleh nyawa besar Yasser Arafat yang tentu tidak bernilai satu. Bahkan tujuh sekalipun. Satu nyawa Arafat, adalah seribu, bahkan sejuta nyawa warga Palestina yang teramat mencintainya.
Setiap kali, dalam puluhan tahun, orang-orang Palestina, para pejuangnya, cuma bunuh ‘satu-satu’ orang Yahudi. Bahkan, pemuda-pemuda hanya ekspresikan marah dengan intifada, dengan batu-batu tiada tembus di badan. Pada mereka ini, bersemayam cita-cita bangsa Palestina yang lebih dari apapun tentang kisah kemerdekaan bangsanya. Negaranya. Kalau toh mereka harus teteskan darah, itu bukan semangat penaklukan. Apalagi zionisme. Bukan. Itu bukan nafsu penguasaan atas Gaza, Jericho, atau Tepi Barat. Itu, perjuangan, adalah ideologi. Cuma itu yang mereka punya. Mereka punya banyak teman: bangsa Arab lainnya, negara-negara Islam lainnya. Namun para teman ini terlalu pemalu (kalaulah tak hendak disebut penakut) untuk kobarkan pembelaan atas Palestina.
Bagi para pejuang Palestina, cita-cita adalah mutiara. Matahari, bahkan. Karenanya, kesulitan dan bahaya adalah madu, adalah bunga. Adalah cinta. Adalah romantika. Ini gelora para pejuang sejati, di manapun. “La montana es algo mas que una inmensa estepa verde!” Pegunungan adalah sesuatu yang lebih dari stepa hijau yang maha luas. Ini lah yang lalu terucap dari Omar Cabezas, comandante guerillero para gerilyawan Front Sandinista di Nikaragua era 80-an. Dalam Fire from the Mountain, Cabezas risalahkan kesaksian yang memukau tentang apa arti hidup dalam perjuangan sebagai sesuatu yang indah, karena tujuan dan arti hidup tak cuma pada kenikmatan diri, tapi pada kesetiakawanan dan pengorbanan untuk sesuatu yang lebih besar: sebuah cita-cita untuk bebaskan si tertindas.
***
Mei-Juni 2008.
Ini bukan soal
agama. Bukan konflik antaragama. Begitu, banyak orang, politikus, juga
ulama, kiai, habib, gus, ajengan, pun pendeta, pun rahib, pun biksu
berapologi. Hal yang sama juga dihadirkan untuk menjelaskan genocide di
Bosnia, tragedi Chehnya, atau Kosovo. Juga ketika pemuda-pemuda pintar
anak buah Mohammad Atta di Al Qaida, tabrakkan pesawat-pesawat ke
jantung simbol kapitalisme Amerika. Juga ketika Amerika dan sekutunya
hancurkan Taliban atau Osama di Afghanistan, lalu Ba’ath atau Saddam
Hussein di Irak. Juga ketika lebih 180 ruh lepas dari jasadnya di
Legian, Bali atas kerja panjang Amrozi, dan kawan-kawannya. Lalu bom
Marriot. Bukan agama! Itu konflik sosial! Masih itu yang terus diucap di
media.
Ah, terlalu lama rasanya kita dipukau oleh sebuah jargon: kerukunan antar umat beragama! Konon, jati diri setiap agama. Tapi, tolong jelaskan tentang insiden Batu Merah Ambon, banjir darah Poso, tragedi Ketapang, Kupang....Sukabumi, dan lalu Monas! Agama adalah jalan kebenaran hakiki. Jembatan nan suci. Namun, kenapa atas nama agama pula, tragedi kadangkala menemukan jalannya? Agama, seolah pengesahan sebuah kekerasan. Kemajemukan adalah basa-basi. Bahkan ilusi. Cuma merayap di ruang penataran, diskusi, dan buku-buku cai bucai. Perbedaan adalah darah. Dan, lakum dinukum waliyadin lantas (cuma) jadi mantra.
Maka, saya teringat kepada Bung Karno. Nasionalis nglotok, dan syahdan, bukan Islam yang totok. Bukan cendikiawan kaliber Al Azhar, bukan habib, ka-ha, gus, tuan guru atau ajengan. Namun dengarlah akunya suatu kali: “...Saya pun adalah orang Islam. Maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna. Tetapi kalau Saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-Tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan!” Entahlah, saya berkeyakinan bahwa si Bung punya keluasan pandang lebih jauh daripada bos para kiai dan pucuk para pastur sekalipun, tentang perbedaan agama. Dalam dan antar agama. Tentang apa itu: “toleransi umat beragama”. Bukan: tragedi umat beragama![]
Post a Comment